Kibar Merah Putih Perdana di Balikpapan
Pergolakan
perang Surabaya Jawa Timur pada 10 November 1945 menjadi titik sejarah awal
keberanian orang Indonesia mengusir tentara militer kolonial sekutu, semenjak gelora
pekik kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan dalam kegiatan proklamasi
di Jalan Pegangsaan Timur nomor 5, di Jakarta pada 17 Agustus 1945.
Semangat arek-arek Surabaya yang terdiri dari
tentara rakyat dan sukarelawan menggempur pasukan sekutu yang diboncengi oleh
tentara Hindia Belanda bernama Netherlands Indies Civil Administration yang
berniat ingin menguasai lagi Indonesia setelah kolonial Jepang kalah dalam
perang dunia kedua.
Pejuang pro Republik Indonesia berusaha
memukul mundur tentara kolonial dari bumi pertiwi Indonesia. Tanpa patah arang,
nyali yang menyala, menjadikan peristiwa pertemuran Surabaya ini sebagai
pertempuran terdahsyat dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia.
Menginjakan daratan kawasan perbatasan Kampung Long Apari Kabupaten Mahakam Ulu Provinsi Kalimantan Timur dengan Serawak Malaysia pada Selasa 27 November 2018 pagi. |
Kisah heroik perang Surabaya ini pun akhirnya
menularkan ke beberapa daerah lainnya seperti di Kota Balikpapan, Provinsi
Kalimantan Timur yang selalu menjadi incaran pihak kolonial Belanda dan Jepang
karena Balikpapan dianggap strategis dan memiliki sumber daya alam minyak yang
menjadi modal penting bagi logisitik peralatan militer.
Seorang pejuang veteran perang di Balikpapan,
Koesman, merasakan atmosfir zaman perang kemerdekaan menegakkan proklamasi
kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Balikpapan.
Saat menemui Koesman di kediamannya, Gang
Nursalam, Jl Panjaitan, Kelurahan Sumber Rejo, Kecamatan Balikpapan Tengah,
Kota Balikpapan, mengungkapkan, getaran perang Surabaya juga merembet ke
wilayah Balikpapan namun peristiwanya tidak serentak dengan yang ada di
Surabaya.
Warga Balikpapan yang pro Republik Indonesia
mengetahui kabar adanya peperangan merebut kedaulatan dari tentara sekutu. Kala
itu media massa cetak dan surat kabar elektronik di Balikpapan tidak secepat
seperti sekarang, informasi yang disampaikan dari Pulau Jawa selalu telat
beberapa hari.
Kisah peperangan Surabaya yang paling cepat
didapat waktu itu dari omongan dari mulut ke mulut dari pihak anak buah kapal
yang bekerja di perkapalan perusahaan milik Belanda. Koesman ingat, di sebuah
kawasan Jl Yos Sudarso area komplek perminyakan dahulu ada pelabuhan.
Saban hari selalu saja ada kapal laut yang
bersandar, termasuk ada kapal yang mengangkut barang dan orang. Begitu
bersandar di pelabuhan Balikpapan ada pegawai kapal laut, asli orang jawa,
cerita-cerita sama orang di Balikpapan.
“Menceritakan di Surabaya ada perang lawan
Belanda. Ceritanya kemudian menular ke beberapa orang, jadi obrolan dari mulut
ke mulut sampai terdengar ke para pejuang penegak proklamasi Indonesia di
Balikpapan,” ujarnya.
Terdengarnya kabar perang Surabaya, membuat
para aktivis kemerdekaan Indonesia pun tidak tinggal diam, ikut memanaskan
situasi, melakukan rancangan kegiatan solidaritas yang menunjukkan satu niat
yang sama menegakkan proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Satu di antaranya yang paling geregetan saat
itu ialah Abdul Moethalib, pentolan Komite Indonesia Merdeka yang bercokol di
Balikpapan. Kata Koseman, si Moethalib ini sebagai pemimpin pergerakan
kemerdekaan Indonesia wilayah Balikpapan.
Bersama rekan lainnya seperti di antaranya
ada Hasan Yusuf, Asnawi Musa, Hamzah Hasani, Achmad Ramli, dan Aziz Amin,
melangsungkan rapat pertemuan secara senyap rahasia tanpa diketahui pihak
sekutu pada 11 November 1945, sekitar siang hari.
Pertemuan rapat ‘bawah tanah’ ini
dilangsungkan di sebuah Bangsal 9, Kebun Sayur, Balikpapan Barat. “Membahas
kapan akan menaikkan bendera merah putih di Balikpapan. Bahas soal tempat
pelaksanaan dan waktu pelaksanaan tegakkan bendera merah putih,” ungkap
Koesman.
Namun berhubung lokasi bangsal, tempat
rapatnya sangat berdekatan dengan kantor polisi kolonial, sekarang sudah
menjadi rumah sakit bersalin Sayang Ibu maka rapat tidak dilanjutkan lama,
dilakukan pemindahan tempat rapat pada malam harinya. “Malam harinya dipindah.
Takut ketahuan rapat dialihkan ke daerah Gunung Empat,” tutur Koesman.
Waktu itu pertemuan Gunung Empat
dilangsungkan di rumah Ali Wardoyo, membahas kelanjutan rencana menegakkan
bendera merah putih di Balikpapan. “Ada yang usulkan tanggal 12,” ungkapnya.
Namun tambah Koesman, saat itu ada muncul
pendapat, jeda satu hari terlalu singkat, perlu waktu untuk memberikan kabar
kepada yang lainnya yang ada di daerah Balikpapan dan sekitarnya.
Rencana kibar bendera merah putih tanggal 12
November 1954 dibatalkan, dipilih tanggal 13 November 1945 dengan tujuan
memberikan banyak waktu luang untuk sebarkan ke seluruh lapisan masyarakat.
“Saudara-saudara kita yang di Teritip, di
Penajam, di Kutai Kartanegara, tidak mungkin tidak bisa datang tanggal 12. Kan
masih perlu diberitahu dahulu. Waktu zaman itu belum ada alat telekomunikasi
cepat. Diundur lagi tanggal 13 saja, supaya semua bisa ikut,” tutur Koesman.
Menurut Koesman, tindakan mengibarkan bendera
merah putih salah satu cara menunjukkan Balikpapan ikut masuk dalam bagian dari
wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Melalui simbol kibar bendera merah putih
membuktikan bahwa Balikpapan bagian dari Indonesia. Pihak kolonial wajib pergi
tidak boleh lagi mendirikan pemerintahan.
Keputusan para pejuang kemerdekaan Indonesia
di Balikpapan akhirnya memilih lokasi pengibaran bendera merah putih di Karang
Anyar, yang sekarang ada di kawasan Jalan Yos Sudarso. (ilo)
Komentar
Posting Komentar